Breaking News

CECERAN DARAH PARA PEMANJAT TANGGA KARIR


Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 11 Juni 2025
Di tengah gemerlap belantara korporasi, di antara deru mesin produksi yang tak pernah berhenti, di bawah sinar kewibawaan ruang-ruang rapat, terhamparlah sebuah medan laga yang tak kasat mata, tempat “pertarungan berdarah para pemanjat tangga karir” yang berlangsung senyap, namun brutal. Setiap anak tangga bukan sekadar pijakan menuju puncak, melainkan arena pertempuran yang menuntut tumbal: waktu, ketenangan, bahkan kemanusiaan itu sendiri. Di balik elegansi jas dan dasi, tersembunyi api ambisi yang menggelegak, menyala-nyala; dorongan untuk mendaki, untuk mengalahkan, untuk menguasai. Seakan di ujung sana, kebahagiaan abadi sedang menanti. Namun, seringkali, yang ditemukan hanyalah kesunyian di ketinggian, dan luka yang tak tersembuhkan, dari sebuah pertarungan yang sejatinya tak pernah usai.

Fenomena ini mencerminkan apa yang dalam sosiologi dikenal sebagai “kompetisi status” (Weber, 1978), di mana individu tidak hanya bersaing untuk sumber daya, tetapi juga untuk pengakuan, prestise, dan posisi hirarkis. Lingkungan kerja yang kompetitif sering kali mendorong “perilaku agresif tidak langsung” (Ferris et al., 2007) seperti gosip, sabotase informasi, atau penghalangan promosi, yang semuanya bertujuan untuk mengungguli pesaing. 

“Budaya organisasi yang menekankan kinerja individual di atas kolaborasi” (Schein, 2010) dapat memperparah kondisi ini, menciptakan atmosfer di mana setiap kolega dipandang sebagai lawan.
Tekanan untuk terus berkinerja tinggi dan “melampaui target” memicu tingkat stres yang kronis (Selye, 1976). 

Para pemanjat tangga karir sering kali menerapkan praktik “jam kerja yang panjang dan tanpa batas” (Pochic & Guimard, 2018), mengorbankan waktu pribadi, istirahat, dan hubungan sosial. Hal ini bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik, seperti “penyakit jantung dan kelelahan” (Kivimäki et al., 2006), tetapi juga pada kesehatan mental, memicu “kecemasan, depresi, dan burnout” (Maslach & Leiter, 2016). 

Mereka terjebak dalam siklus di mana pencapaian satu target hanya membuka pintu bagi target yang lebih tinggi, menciptakan "treadmill hedonik" dalam konteks karir (Brickman & Campbell, 1971) yang tak berujung.

Aspek psikologis dari pertarungan ini juga berupa "perbandingan sosial" yang tak sehat (Festinger, 1954). Dengan adanya media sosial dan budaya pamer, individu terus-menerus membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain, memicu “rasa tidak cukup dan iri hati” (Smith, 2000). “Kebutuhan akan validasi eksternal” (Deci & Ryan, 1985) menjadi pendorong utama, di mana nilai diri ditentukan oleh posisi di tangga karir dan pengakuan dari atasan atau rekan. Ini sering mengikis "motivasi intrinsik" (Ryan & Deci, 2000) dan menggantinya dengan keinginan untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bukan passion sejati.
Lebih jauh lagi, sebagai konsekuensi, “dehumanisasi” juga dapat terjadi dalam proses ini. Demi mencapai puncak, nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, integritas, dan kejujuran seringkali “terkompromi atau bahkan dikorbankan” (Bauman, 2000). Relasi antarmanusia berubah menjadi "transaksional" (Blau, 1964), di mana orang lain dipandang sebagai alat atau penghalang menuju tujuan pribadi. 

Pada akhirnya, para pemanjat mungkin mencapai puncak yang diimpikan, namun menemukan diri mereka “terasing dari diri sejati” dan lingkungan sekitar, dengan “jiwa yang kosong di balik kesuksesan yang terlihat mentereng” (Frankl, 1946).
Dan, meski fajar kemenangan pemanjat menyingsing di cakrawala korporasi, namun itu akan menyisakan jejak mimpi yang melelahkan. 

Para pemanjat tangga karir mungkin menemukan diri mereka berdiri di puncak, namun dalam kesendirian yang pedih. Mahkota yang mereka kenakan terasa berat, bukan karena intannya, melainkan karena bekas luka dari pertarungan berdarah yang telah mengoyak hati dan jiwa. Dan ketika raga sudah berada di ufuk senja, di penghujung perjalanan kehidupan, barangkali akan datang “penyesalan yang dalam”, bukan karena kegagalan untuk mencapai puncak, melainkan karena harga yang terlalu mahal yang harus dibayar: terkorbankannya kesehatan di saat muda hingga tua, terlewatkannya pengalaman bercintakasih murni dan berketulusan, hilangnya momen berharga bersama rekan dan handai tolan, kelangkaan momen bersama orang tercinta, keutuhan diri yang terkoyak, dan kegetiran akan “hidup benar dan baik” yang terlewatkan, demi sebuah ilusi (Bronnie Ware, 2011). Di balik gemerlap pencapaian, sebuah bisikan lirih, namun dalam, selalu mengikuti: apakah semua ini sepadan? Apakah puncak ini benar-benar membawa kebahagiaan, ataukah ia hanyalah fatamorgana lain di padang ilusi, yang pada akhirnya, hanya menyisakan penyesalan dan kerinduan abadi untuk kembali menjadi manusia yang utuh dan penuh, terbebas dari jerat ambisi yang menyesatkan, menyesakkan dan melelahkan.

Kadang tampa di sengaja keluargapun di korbankan. Sebuah Pertarungan yang merugikan.

Referensi:
Bauman, Z. (2000). Liquid Modernity. Polity Press.
Blau, P. M. (1964). Exchange and power in social life. Transaction Publishers.
Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic relativism and planning the good society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation Level Theory: A Symposium (pp. 287-302). Academic Press.
Bronnie Ware. (2011). The Top Five Regrets of the Dying: A Palliative Nurse's Inspiring Account of the Privileges of Consoling the Dying. Hay House.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Plenum.
Ferris, G. R., Treadway, D. C., Brouer, R. L., & Munyon, T. P. (2007). Political skill in the organizational sciences. Journal of Management, 33(3), 290–320.
Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140.
Frankl, V. E. (1946). Man's search for meaning. Beacon Press.
Kivimäki, M., Virtanen, M., Elovainio, M., Kouvonen, A., Väänänen, A., & Vahtera, J. (2006). Work stress in relation to incidence of Type 2 diabetes in 3,000 employees: a prospective study. Occupational and Environmental Medicine, 63(10), 656–661.
Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Burnout: The New World View. In C. L. Cooper & J. C. Quick (Eds.), The handbook of stress and health: A guide to research and practice (pp. 523–542). Wiley-Blackwell.
Pochic, S., & Guimard, M. (2018). The long hours in the context of precarious work and gender inequalities. Routledge.
Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. Plenum.
Schein, E. H. (2010). Organizational culture and leadership (4th ed.). Jossey-Bass.
Selye, H. (1976). The stress of life (Rev. ed.). McGraw-Hill.
Smith, R. H. (2000). Assimilative and contrastive emotional reactions to upward and downward social comparisons. In J. Suls & L. Wheeler (Eds.), Handbook of social comparison: Theory and research (pp. 173–203). Kluwer Academic/Plenum Publishers.
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretative sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - OPINIRAKYAT.ID